ASWAJA SEBAGAI
MANHAJUL FIKR PMII:
PERKEMBANGAN
DAN TANTANGANNYA
Nafilah Safitri
Ahlu Sunnah wal
Jamaah (Aswaja)
merupakan sebutan bagi golongan orang-orang yang mengikuti sunnah Rasul dan
para sahabat-sahabatnya (maa ana ‘alaihi wa ashhabiy) yang kemudian
konsep Aswaja ini menjadi salah satu manhaj (sistem hidup) bagi umat Islam.
Istilah aswaja ini disebutkan oleh nabi dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh
Abu Hurairah bahwa suatu saat umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan, dan
Nabi bersabda bahwa hanya ada satu golongan yang bisa masuk surga yaitu Ahlu
Sunnah wal Jama’ah. Setelah wafatnya Rasulullah SAW, agama Islam berkembang
semakin luas. Penyebaran Islam di masa sahabat, tabi’in, dan tabi’
tabi’in dilakukan dengan melakukan ekspansi wilayah dan perluasan
strategi geopolitik kerajaan Islam di periode-periode tersebut.
Berkembangnya
agama Islam yang diiringi juga dengan perkembangan pemikiran dan munculnya
cendekiawan muslim yang membawa Islam pada masa keemasan, di sisi lain juga
memunculkan tantangan dalam kondisi internal umat Islam sendiri. Konflik
sosial-politik dalam ranah teologi mulai terjadi di dalam kubu umat Islam dan membawa
umat Islam ke dalam perpecahan, sehingga akhirnya umat Islam terbagi ke dalam
beberapa golongan. Masing-masing golongan memiliki ciri khas dan banyak yang
mendifinisikan bahwa manhaj golongannya merupakan Ahlu Sunnah wal Jama’ah.
Golongan-golongan yang ada dalam umat Islam ini semakin berkembang dan
variatif, sampai akhirnya Islam kemudian masuk ke Indonesia.
Kemudian
bagaimana selanjutnya perkembangan Aswaja di Indonesia? Aswaja yang seperti
apakah yang kemudian masuk ke Indonesia? Untuk menelusuri jejak Aswaja di
Indonesia, berarti kita kembali menelisik sejarah perkembagan Islam di
Indonesia yang dibawa oleh Walisongo. Fase pertama Islam masuk ke Indonesia
menurut sebagian kalangan sejarawan adalah sekitar abad 13 M. Syaikh Maulana Malik
Ibrahim (Sunan Gresik) merupakan wali pertama yang melakukan dakwah di
Indonesia khususnya di tanah Jawa. Dakwah yang dilakukan oleh Sunan Gresik (yang
kemudian juga dilakukan oleh wali-wali lainnya) ini, tidak dilakukan dengan
cara pemaksaan dan doktrinasi. Beliau melakukan dakwah dengan cara yang mudah
diterima oleh masyarakat Indonesia yang ketika itu merupakan penganut taat Hindu
– Buddha. Beliau berdakwah dengan akumulasi tiga hal. Yang pertama adalah akumulasi
ekonomi, akumulasi ekonomi yang dilakukan oleh para wali ini dengan cara
berdagang. Dengan berdagang, para wali ini dengan mudah menjalin interaksi
dengan masyarakat setempat untuk saling memenuhi kepentingan ekonominya.
Setelah lama berinteraksi melalui perdagangan, banyak pedagang-pedagang muslim
yang kemudian menetap di Indonesia, khususnya di tanah Jawa. Banyaknya pedagang
muslim yang menetap dan kemudian menikah dengan masyarakat setempat, memudahkan
para wali untuk melakukan akumulasi yang kedua, yaitu akumulasi pengetahuan.
Akumulasi pengetahuan yang dilakukan oleh para wali ini dilakukan dengan
membentuk halaqah-halaqah kecil sebagai forum penyebaran Islam dan
kemudian berkembang menjadi pesantren. Dengan pendirian pesantren-pesantren
ini, penyebaran agama Islam menjadi lebih mudah. Dawah agama Islam dilakukan
terpusat di pesantren-pesantren. Dari akumulasi pengetahuan ini, kemudian
terjadi akulturasi budaya dan internalisasi nilai-nilai Islam ke dalam budaya
masyarakat yang sangat kuat dipengaruhi oleh ritual-ritual keagamaan Hindu – Buddha.
Selanjutnya, akumulasi yang ketiga adalah akumulasi politik. Setelah dakwahnya
diterima oleh masyarakat, para wali ini memiliki hubungan dekat dengan
raja-raja yang berkuasa di tanah Jawa. Seperti Raden Rachmat atau yang kita
kenal dengan Sunan Ampel, beliau dihadiahkan tanah dari raja Majapahit untuk
didirikan pesantren dan mengembangkan dakwahnya di wilayah Ampel Denta di
Surabaya. Metode dakwah yang dilakukan para wali ini, kemudian membuat Islam
semakin berkembang di Indonesia. Mulai dari 0% beragama Islam, hingga saat ini
berkembang menjadi kurang lebih 80% penduduk Indonesia yang beragama Islam.
Memasuki fase
kedua, fase ini merupakan perkembangan Islam di masa kolonialisme sampai pasca
kemerdekaan. Nusantara yang sudah di dominasi oleh umat Islam, harus menghadapi
tantangan penjajahan dan penyebaran agama kristen di masa itu. Di masa
kolonialiseme ini, dakwah Islam dilanjut
oleh para alim ‘ulama yang kita kenal sebagai Kiai. ‘Para alim ‘ulama
tersebut, selain menimba ilmu di pesantren-pesantren yang ada di Indonesia,
mereka juga belajar ke Timur Tengah. Sekembalinya mereka ke Indonesia, para
ulama ini kemudian terus mengembangkan nilai-nilai Aswaja yang mereka pelajari
dan memperkuat umat Muslim nusantara dengan mendirikan organisasi Islam.
Kebangkitan para ulama untuk terus menjaga mempertahankan nilai-nilai aswaja
ini juga diiringi dengan semangat nasionalisme dan melawan penjajahan untuk
meraih kemerdekaan Indonesia. Turning point kebangkitan ulama ini, adalah
dengan didirikannya Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi Islam yang berlandaskan
Aswaja sebagai manhajul fikr-nya yang diiringi dengan semangat
nasionalisme dalam perjuangannya. Dalam perkembangannya, NU kemudian bergerak
sebagai organisasi Islam tradisionalis yang memiliki peran penting dalam
perjuangan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. secara tidak langsung, umat
Islam yang tergabung dalam NU ini membentuk indetitas Islam Indonesia. namun
dalam perjalanannya, nila-nilai aswaja dan praktik-praktik keagamaan
tradisionalis yang dibawa NU ini mendapatkan tantangan dari kalangan Islam
modernis.
Berlanjut ke
fase selanjutnya, yaitu fase ketika globalisasi sudah membawa nilai-nilai
liberal masuk ke Indonesia. kelompok-kelompok dan ormas-ormas Islam di
Indonesia semakin bervariasi. Salah satunya adalah munculnya kelompok Islam
Liberal yang berasumsi bahwa agama merupakan urusan privat. Dengan munculnya
kelompok Islam liberal tersebut, NU kemudian memiliki tantangan baru dalam
usahanya mempertahankan nialai-nilai Aswaja. Banyaknya pertentangan dari
kelompok-kelompok Islam yang berbeda ideologi dengan NU juga menjadi tantangan
yang harus dihadapi NU untuk mempertahankan nilai-nilai Aswaja dengan
nilai-nilai ke-Indonesiaannya.
Kemudian, jika
kita hubungkan dengan posisi kita sebagai kader Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), sebagai organisasi mahasiswa yang pergerakannya berada dalam
satu track dengan NU, apa yang dapat kita lakukan untuk terus melestarikan
nilai-nilai Aswaja dan semangat nasionalisme? Jawabannya adalah, kembali kepada
fase di awal masuknya Islam ke Indonesia. Kita harus melakukan akumulasi
terhadap bidang ekonomi, pengetahuan, dan politik di Indonesia dalam konteks
yang lebih modern, disesuaikan dengan perkembangan masa kini. Dengan banyaknya
kader-kader PMII yang melakukan akumulasi di tiga bidang tersebut, nilai-nilai
aswaja akan tetap mudah utuk dilestarikan. Karena dengan memelihara nilai-nilai
Aswaja dan ke-Indonesiaan, tandanya kita telah menjaga identitas umat Islam Indonesia
di mana syariat Islam dan nasionalisme berjalan seimbang menjadi satu entitas
yang kuat.
NB: Artikel ini merupakan hasil review salah satu materi dari Bapak
Mustafied di acara “Sharing Kepenulisan” di PPM ASWAJA Nusantara (Mlangi,
Yogyakarta) yang diselenggarakan oleh PMII Komisariat Airlangga, 16 Februari –
22 Februari 2014.